Laman

Minggu, 23 Agustus 2020

Gunung Lembu Purwakarta Trek Bersahabat Untuk Pendaki Cilik

Waduk Jatiluhur terlihat dari Batu Lembu Gunung Lembu Purwakarta | JelajahSuwanto
Belajarlah pada gunung, Anakku. Gunung bukan tentang keangkuhan, di puncak heningnya melimpah kerendahan hati | ©JelajahSuwanto

 

Pada awal Agustus 2020, Keluarga Suwanto sepakat ingin memerdekakan diri setelah berbulan-bulan #DiRumahSaja. Gunung Lembu di ketinggian 792 mdpl akan menjadi pendakian pertama #KenSiPenjelajahKecik di masa pandemi. Ternyata, juga menjadi pengalaman pertama ngecamp di puncaknya. Gunung Lembu dikatakan memiliki trek sedang, cocok bagi pemula bahkan anak-anak.


Malam sebelum keberangkatan, saya berselancar memastikan apakah Gunung Lembu sudah kembali
dibuka pada masa new normal ini. Tidak ada sosial media atau website khusus milik pengelola pendakian Gunung Lembu. Namun, terima kasih pada update sosmed zaman now, khususnya Instagram. Melalui hashtag #gununglembu, di menu recent bisa terlihat siapa-siapa saja yang baru mendaki. Random saya DM salah satunya, Mas Ihan Pratama. Gayung bersambut, cepat sekali ia merespon. Bahkan saya diberi kontak salah satu pengelola Gunung Lembu.


Sisi lain Waduk Jatiluhur dari Gunung Lembu #KenSiPenjelajahKecik
Langit, bumi dan segala isinya, gunung gemunung, daratan dan perairan, hirup dan cecaplah, Nak. Kamu akan belajar banyak hal dari alam | ©JelajahSuwanto

Pemandangan Waduk Jatiluhur dari Gunung Lembu
Sisi lain Waduk Jatiluhur dan bentang alam Purwakarta diabadikan dari salah satu jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto

Di Mana Gunung Lembu?

Gunung Lembu terletak di Kampung Panunggal yang secara administratif berada di Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Untuk mencapai basecamp Gunung Lembu kami percayakan pada si Mbak bersuara nyaring di aplikasi Google Maps. Dan begitulah, entah ke berapa kalinya (tapi gak kapok-kapok), perjalanan bersama si Mbak selalu dag dig dug ser. Sebab settingan fastest route itu seringnya ‘menyesatkan’. Dari tol Purbaleunyi, Jelajahsuwanto keluar pintu tol Jatiluhur terus ke Jalan Ciganea hingga jalan raya Sukatani. Nah di jalur ini, kami diarahkan melalui Pasar Anyar Sukatani yang jalannya sempit, walau bisa dilalui roda empat. Jalan yang diberikan si Mbak tidak recommended.



Masuk ke jalan ini agak tanda tanya, berasa terjebak di tengah keruwetan pasar (dan memang begitu adanya, sebenar-benarnya pasar). Sebentar kemudian kami ketemu perlintasan kereta api dan jalanan bumpy. Badan jalan semakin mengerucut hanya cukup 1 roda empat sepanjang lebih kurang 2 km. Ah, ya, 2 kali kami berpapasan mobil bikin grogi. Puji Tuhan, yang pertama pengendara lain mundur-mundur cantik kemudian berhenti di semacam halaman kantor lurah, entah apalah. Yang kedua sebelum belokan, Puji Tuhan lagi-lagi, kami bisa minggir tepat waktu. Masuk ke halaman orang tanpa permisi.

Tak lama jalur pintas itu (yang ternyata tidak lebih cepat) usai juga. Kami sah berada di jalan yang benar. Pyuuuh. Pulangnya kapok tidak akan melewati jalan yang sama. Harusnya tadi tak usah melalui Pasar Anyar Sukatani, lurus saja dulu sekitar 1Km, baru belok menuju arah jalan Panyindangan (toh dari Pasar Sukatani nanti keluar di jalan ini juga).  Jalur yang tepat melewati plang PT. Gunung Kecapi.

Kontur jalan mostly naik kelak-kelok, sebagian mulus, lainnya grunjal-grunjel. Badan jalan pas selebar dua mobil, sementara pinggirannya tinggi agak mengkhawatirkan jika sampai ban terperosok. Kabar seru di jalur ini kami bersenang-senang mainan klakson. Apapun jalurnya ingat selalu cermat dan waspada, gak boleh petakilan bawa mobil.



Gunung Parang terlihat dari jalur pendakian Gunung Lembu setelah pos 1 lapang kapal | JelajahSuwanto
Gunung Parang dan kawan-kawannya terlihat dari jalur pendakian Gunung Lembu, tak jauh dari pos 1 Lapang Kapal | ©JelajahSuwanto


Pedesaan Purwakarta yang asri terlihat dari jalur pendakian Gunung Lembu
Pedesaan Purwakarta nan asri diabadikan dari jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto


Fasilitas Pendakian Gunung Lembu

Gunung Lembu dikelola swadaya atas inisiatif masyarakat lokal dengan dukungan pihak pemerintah desa, LMDH dan Perhutani. Boleh dikatakan fasilitas untuk wisata pendakian cukup memadai. Tempat parkir, kamar kecil, mushola, tempat camp, dan warung makan lengkap tersedia. Bahkan di puncak gunung ada satu warung yang bisa memenuhi kebutuhan standar pendaki.

 

Tempat Parkir

Kira-kira pukul 14.30, Aki bule demikian lelaki sepuh yang mendapat julukan dari warga setempat itu mengarahkan kami ke lapangan parkir di bawah kebun jati. Konon, Aki bule berdarah Belanda, tapi Basa Sundanya medok pisan, jangankan Bahasa Walanda, Bahasa Indonesia pun Aki patah-patah. Datang juga Nini yang seperti halnya urang Sunda, ramah dan murah senyum. Aki dan Nini menyambut kami dengan hangat.

Kata Aki tempat parkir di samping basecamp penuh, biasa kalau malam Minggu banyak yang mendaki. Tidak mengapa parkir di lapang karena pasti aman, akan Aki jaga, janjinya. Biaya parkir mobil jika bermalam Rp.15ribu, kalau mau dilebihkan boleh banget.


Tempat pendaftaran pendaki di Basecamp Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Pendaki daftar dulu di Basecamp Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto

Basecamp Gunung Lembu  jadi satu dengan warung Abah Haji Adang | JelajahSuwanto
Basecamp Gunung Lembu satu tempat dengan Warung Nasi Abah Haji Adang | ©JelajahSuwanto


Basecamp Gunung Lembu

Basecamp Gunung Lembu dipenuhi rombongan pendaki yang sedang bersiap-siap. Kami harus mendaftar dengan mengisi buku tamu, menuliskan jam kedatangan, jumlah orang dan nama PIC serta nomor kontaknya. Dicantumkan juga apakah akan tektok (langsung turun) atau ngecamp (menginap) di puncak Gunung Lembu. Biaya Pendaftaran per orang Rp.10ribu untuk yang tektok dan Rp.15ribu kalau ngecamp. Lokasi basecamp jadi satu dengan warung nasi Abah Haji Adang. Paginya kami sarapan nasi merah dengan ayam goreng, enak dan terjangkau.

 

WC Kamar Kecil

Ada beberapa “kamar kecil” di basecamp, dekat meja pendaftaran. Selain itu di beberapa warung sekitar basecamp juga menyediakan WC. Bijak-bijaklah menggunakan air, seperlunya saja karena di lokasi ini air tidak selalu melimpah. Lepas turun gunung, kami ingin sekali membersihkan diri, apa daya kamar kecil ditutup, persediaan air habis. Saya kira di pegunungan yang di bawahnya menghampar waduk Jatiluhur tak akan kekurangan air. “Airnya belum datang lagi, Neng. Mungkin baru nanti sore,” Bapak pemiliki warung mie ayam tepat di seberang basecamp menjelaskan.



Pendaki lapor dulu di Basecamp Gunung Lembu ©JelajahSuwanto
Mengaso di Basecamp Gunung Lembu |  ©JelajahSuwanto

Lokasi Basecamp Gunung Lembu di Kampung Panunggal, Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Provinsi Jawa Barat |  ©JelajahSuwanto
Lokasi Basecamp Gunung Lembu di Kampung Panunggal, Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Provinsi Jawa Barat |  ©JelajahSuwanto

Saung Ceria bukan Saung Ceu Ria

Tektok atau ngecamp?” Ibu berkerudung coklat di meja pendaftaran bertanya saat saya sedang menuliskan nama. “Belum tahu, Bu. Rencananya setelah sunset mau turun karena enggak bawa perlengkapan. Gak bawa tenda juga,” jawabku ragu.

“Oh, nggak bawa tenda ya? Atuh tidur aja di saung Ceu Ria,” kata si Ibu memberi arahan. Demikianlah otak saya memproses hasil tangkapan bunyi itu sebagai saung miliknya Ceu Ria (Ceu adalah panggilan Kakak Perempuan dalam basa Sunda). 

“Oh boleh ya, Bu menginap di saung Ceu Ria?” Saya berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

Ya boleh atuh. Da saungnya teh besar pisan, tiasa kali nampung 100 orang mah. Nanti barengan aja sama yang lain upami tos aya nu duluan di sana.” Si Ibu menerangkan dengan logat Sunda-nya yang masih terngiang sampai sekarang. “Di depan saung oge ada lapangan luas, biasana nu ngadaki pada buat tenda di situ. Pada ngadamel api unggun juga. Seru pastilah.” Lanjutnya dengan mata berbinar laksana suluh.



Petunjuk Saung Ceria / Camp Ceria di pertigaan jalur pendakian Gunung Lembu  ©JelajahSuwanto
Saung Ceria #Cateet | ©JelajahSuwanto

#KenSiPenjelajahKecik semangat mendaki Gunung Lembu
Yes, semangat. Jangan menyerah, Nak. Ayo mendaki taklukkan dirimu! ©JelajahSuwanto   


Dan di pertigaan jalan ini, barulah saya nyengir kuda. Ternyata Saung Ceu Ria adalah sebuah lahan datar di tempat yang cukup tinggi. Lokasinya sekitar 30-45 menit dari basecamp. Pengelola memfasilitasi saung besar bagi para pendaki yang ingin bermalam. Tepat di depan saung merupakan area camping yang dapat menampung banyak tenda. Ada warung dan mungkin kamar kecil di dekat lokasi. Itulah Camp Ceria atau disebut juga Saung Ceria yang dari pinggir tebingnya pedesaan Purwakarta terlihat begitu asri. #Cateet Saung Ceria bukan Ceu Ria #tutupmukangakaksorangan.


Pos-Pos di Jalur Pendakian

Pengelola Gunung Lembu membangun pos-pos perhentian yang sangat membantu pendaki. Setiap pos memberikan kelegaan dan penghiburan sendiri bagi kaki-kaki kami yang kelelahan. 
Pos 1 bernama Lapang Kapal. Di lokasi ini ada satu warung dilengkapi kamar kecil, lapangan camping ground, dan bale-bale tempat mengaso. Lapang Kapal juga merakit sebuah jembatan bambu untuk pepotoan atau mengintip Gunung Parang di seberang sana.


Informasi di Pos 1 Lapang Kapal Jalur Pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Lokasi Ground Camping Pos 1 Lapang Kapal, rasanya pengen ngedit ©JelajahSuwanto

Uji keberanian menaiki jembatan bambu Pos 1 Lapang Kapal Gunung Lembu #KenSiPenjelajahKecik
#KenSiPenjelajahKecik adu keberanian menaiki jembatan bambu  Pos 1 Lapang Kapal ©JelajahSuwanto

Enggak jauh dari Pos 1, naik beberapa menit ada satu warung lagi dengan view Gunung Parang yang lebih jelas. “Mangga mampir di sini, Neng. Kalau mau ngecamp juga silakan” Ibu setengah baya berkerudung biru menawarkan tempat. Dua tenda oranye terpasang di muka warung. Panorama dari lokasi ini cukup menarik. Gugusan gunung dan pedesaan nun di seberang sana menghadiahi kami kecerlangannya.

Semula Keluarga Suwanto berencana segera turun gunung setelah sunset, langsung balik ke Jakarta, atau bahasa pendakinya tektok. Akan tetapi, mengingat jalur perjalanan seperti yang diceritakan di awal, rupa-rupanya memicu niatan baru di kepala Pak Suami. “Kita ngecamp aja ya, baru balik setelah sunrise.” Suprisingly, anak-anak mengamini. Padahal perlengkapan dan persiapan jauh dari memadai. Bahkan outfit yang saya kenakan tak yakin sanggup menahan angin gunung di malam hari. Kalau untuk anak-anak, mereka cukup aman karena ada persediaan hoodie di tas.


Setelah pos 1 Jalur Pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Ngaso lagi, lama tak mendaki ngos-ngosan juga. Setelah Pos 1 Lapang Kapal Jalur Pendakian Gunung Lembu| ©JelajahSuwanto

Gunung Parang via ferrata terlihat dari Jalur Pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Gunung Parang yang terkenal dengan via ferrata-nya terlihat jelas dari jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto

Jalur Pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto

Pos 2 posisinya berada di punggung gunung. Persinggahan ini juga menyiapkan tempat beristirahat, sebuah warung lengkap dengan saungnya. Kami bertanya pada Ibu dan Bapak penjaga apakah boleh bila nanti jadi bermalam, kami menginap di saungnya? Ibu dan Bapak dengan senyum merekah sama sekali tak keberatan. Biarpun tak membawa tenda, urusan ngecamp no problem, ada solusi beberapa alternatif saung.

Pos 3  terasa hening, senyap. Sebuah bangku menguarkan aroma bambu dipatok diantara dua pohon di sisi batu besar. Cahaya senja romantis menelisip dari balik rimbun pepohonan. Saya tak ingin berlama-lama di tempat ini. Auranya terasa ‘dingin’ bukan adem. Hanya di pos 3 yang tak ada penjaganya.


Pos 3 Jalur Pendakian Gunung Lembu Purwakarta | JelajahSuwanto
Tak ingin berlama-lama meski cahaya senja romantis menelisip dari balik rimbun pepohonan, Pos 3 Jalur Pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto

Pos 3 Jalur Pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Pos 3 Jalur Pendakian Gunung Lembu tak ada warung atau saung hanya bale bambu  | ©JelajahSuwanto

Puncak Gunung Lembu

Dataran tertinggi Gunung Lembu dekat sekali dari Pos 3. 'Puncak Lembu 792 mdpl Panyindangan PWK' salah satu tulisan di papan bercat hitam itu adalah trofi untuk #KenSiPenjelajahKecik. Yes, he did it. Adek kecik berhasil mendaki puncak. 

Sebuah tenda terpasang di tanah landai bulan Agustus yang padat dan kering. Sementara bongkah andesit menjadi privilese si empunya tenda. Selain menaungi dari angin malam, batu besar ini bak singgasana tuk menyesap semburat senja dari puncak tertinggi Gunung Lembu. Sempurna.

Sewaktu kembali turun gunung saya mulai bawel mengingatkan adek kecik untuk berhati-hati melompati tali pancang tenda. Puncak Lembu telah dipadati tenda aneka warna, berjejer rapat hingga pinggir jalan setapak. Weekend kali ini, rupanya Gunung Lembu full house kedatangan banyak tamu. Bisa jadi karena Jumat sebelumnya hari Libur Idul Adha.


Camping tenda Puncak Gunung Lembu 792 mdpl | JelajahSuwanto
Puncak Gunung Lembu 792 mdpl | ©JelajahSuwanto

Monyet liar Puncak Gunung Lembu 792 mdpl | JelajahSuwanto
Monyet liar di Puncak Gunung Lembu 792 mdpl | ©JelajahSuwanto

Batu Lembu

Pada petang yang berangin kami tiba di Batu Lembu. Sebuah batu raksasa yang menyangga Gunung Lembu. Ikonik. Lokasinya tidak jauh dari puncak menuruni sedikit tebing curam. Rumpon-rumpon nelayan, Waduk Jatiluhur, pemukiman warga, bentang alam pedesaan, perbukitan dan gunung gemunung terlukis cantik sekali. Tak heran area papak Batu Lembu menjadi favorit, semakin malam semakin banyak pendaki berdatangan.  Namun seperti ada kesepakatan bersama, tidak boleh mendirikan tenda di atas Batu Lembu.

Warung dengan bilik bambu standby saat malam Minggu atau hari libur. Pendek kata warung buka ketika banyak pendaki bermalam. Pemiliknya keluarga muda dengan anak lelaki balita yang ceriwis. Mereka hanya menyediakan minuman panas dan dingin, rokok, sedikit camilan instan dan pop mie. Padahal ngebayangin mie rebus atau bala-bala pakai cengek, hangat-hangat pedas di tengah dingin kabut gunung.


Ada warung di atas Batu Lembu Gunung Lembu | JelajahSuwanto
#KenSiPenjelajahKecik berubah jadi lizardman turun naik merayapi Batu lembu  | ©JelajahSuwanto

Monyet di bibir Batu Lembu Gunung Lembu Purwakarta | JelajahSuwanto
Edi, monyet Gunung Lembu tak mau ketinggalan menyambut fajar pertama di Batu Lembu | ©JelajahSuwanto

Saung beralas talupuh dengan sebagian atap yang menganga membulatkan tekad kami untuk ngecamp. Saung dan warung berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan setapak menuju Batu Lembu. Baiklah malam ini, Keluarga Suwanto akan menantikan bintang gemintang dan kerlip cahaya di Gunung Lembu. Semoga angin menerbangkan awan kelabu jauh-jauh dari langit Panyindangan.
 
Pada Aa dan Teteh pemilik warung kami mohon izin, sebab tak tahu saung ini punya siapa. Seikhlasnya saja kalau mau memberi uang kata mereka. Dan di saung itu, kami tidak sendirian, ada 3 pendaki, 2 pemuda dari Sentul dan seorang gadis Panunggal sahabatnya. Mereka kelupaan membawa tiang pancang padahal tendanya digembol kemana-mana.
 
Di bawah saung serombongan pendaki dengan logat ngapak lebih dulu ngecamp. Mereka di 2 tenda, seumpama radio dengan baterai kapasitas jumbo, nggak ada matinya. Ramai terus sepanjang malam. Mulai dari nyanyian sumbang medley bersahut-sahutan, disambung obrolan macam ndongeng, ghibah dan curhat. Tidak bisa tidak kami ikut terhibur, ikut nyengir, nyimak penuh kekepoan. #BuTejoadalahkita
 
Waduk Jatiluhur malam hari terlihat dari Batu Lembu | JelajahSuwanto
Kerlip cahaya malam di Batu Lembu | ©JelajahSuwanto
 


Rute Pendakian Gunung Lembu

Kendatipun diceritakan Gunung Lembu termasuk kategori pendek, belajar dari pengalaman, jangan pernah meremehkan Gunung dengan berlaga sok-sokan. Kamu tidak akan pernah bisa mengukur ketinggian gunung sampai kamu tiba mencapai puncaknya. 


Papan informasi rute pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Peta rute pendakian Gunung Lembu Purwakarta | ©JelajahSuwanto

 

Rute pendakian Gunung Lembu dari Basecamp dipetakan menjadi 5 Lokasi. Pertama Pos 1, lalu Pos 2, Pos 3, Puncak Lembu dan terakhir Batu Lembu.

Estimasi waktu pendakian kurang lebih 2,5 jam dengan kecepatan santai menyesuaikan si pendaki kecik. Ancar-ancar waktunya dari basecamp sampai pos 1, lanjut ke Saung Ceria antara 15-30 menit. Pos 1 ke pos 2 sekitar 30 menitan. Pos 2 menuju pos 3 rasanya lebih lama mungkin 30-45 menitan. Pos 3 hingga puncak kurang dari 15 menit. Puncak ke Batu Lembu tidak sampai 10 menit.


Gapura Wilujeng Sumping Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Memasuki Gapura Wilujeng Sumping, jalur pendakian sudah terlihat nanjak | ©JelajahSuwanto

Papa pendaki memasuki Hutan Bambu di jalur pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Solidaritas pendaki rendah hati saling berbagi, dipandu rombongan pendaki Karawang | ©JelajahSuwanto

Jalur Pendakian Gunung Lembu

Jalur pendakian Gunung Lembu tergolong komplit. Sensasi damai, ngos-ngosan, memacu adrenalin juga sedikit mistis, dapat semua. Medannya boleh dibilang menantang dari kontur tanah berbatu-batu, tanjakan dan turunan curam, hutan pegunungan yang didominasi bambu serta punggung gunung dengan jurang di setiap sisinya. Dua makam keramat berada antara pos 2 menuju pos 3. Pusara Mbah Jongrang Alakadomas di tengah jalan tak jauh dari pos 2 dan petilasan Mbah Raden Suryakencana sebelum pos 3. 

"Mbah Jongrang dan Mbah Raden Suryakencana itu karuhun nu ngageugeh daerah ieu. Mamang tidak tahu sejarah pastinya. Sepertinya mereka dari kerajaan yang dahulu berkuasa di sini." Itu saja informasi yang kami dapat mengenai keberadaan dua makam keramat di jalur pendakian Gunung Lembu.



Trek Pendakian Gunung Lembu tanjakan berbatu | JelajahSuwanto
Puncak gunung memang tujuan kita, tapi semua kebahagiaan dan pertumbuhan terjadi saat kita mendaki | ©JelajahSuwanto

Trek Pendakian Gunung Lembu turunan curam | JelajahSuwanto
Pengelola menyediakan tali-tali pengaman untuk membantu pendaki naik turun tebing terjal di jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto

Memasuki gapura Wilujeng Sumping, jalur sudah nampak tajam mendaki. Mamang pengelola mengarahkan karena membawa adek kecil sebaiknya nanti di setiap pertigaan ambil trek ke arah kanan. Trek ini agak memutar tidak terlalu nanjak. 

Untuk mensiasati trek terjal pengelola membuat undak-undakan semacam tangga. Mereka juga menyediakan tali pengaman untuk berpegangan di setiap tanjakan atau turunan curam. Musim kemarau memaksa daun-daun berserak menutupi jalan setapak yang keras berdebu. Kondisi ini bila kurang hati-hati mengakibatkan pijakan jadi licin. Untuk itu penting sekali memakai alas kaki yang “menggigit”.

Naik turun punggung gunung justru bikin #KenSiPenjelajahKecik ketagihan. Meski memacu adrenalin, pemandangan dari beberapa tempat memang spektakuler. Apalagi boleh memanjat batu-batu besar yang belum pernah dilihatnya. Dari atas batu-batu hitam padat itu, sejauh mata memandang Jatiluhur dan pedesaan Purwakarta alangkah memukau.

So, yes Gunung Lembu dari basecamp Kampung Panunggal bisa direkomendasi ramah anak.


Tali pengaman di jalur pendakian Gunung Lembu yang lumayan ekstrem | JelajahSuwanto
Semangat, enjoy the trek! | ©JelajahSuwanto

Punggung Gunung Lembu, kiri kanannya jurang | JelajahSuwanto
Jalan setapak yang kurindukan di Jalur Pendakian Gunung Lembu| ©JelajahSuwanto


Gunung Lembu dan Sejarah Terjadinya

Mamang pengelola Gunung Lembu dengan iket sunda di kepalanya menyambut kami siang itu. Ia hangat dan kebapakan, sabar meladeni obrolan ngalor ngidul para pendaki. Ketika ditanya kenapa namanya Gunung Lembu, ia jujur tidak keminter. Mamang jawab mengenai penamaan lembu itu beliau tidak tahu pastinya, nama itu sudah turun temurun, “…dari sananya atos kitu, Neng.”


Infografis Gunung Lembu dan sejarah terbentuknya | JelajahSuwanto
Infografis Gunung Lembu| ©JelajahSuwanto


Gunung Lembu disebut demikian, bila membaca infografis yang terpasang di basecamp ternyata karena bukit batu itu jika dilihat dari arah timur terlihat seperti lembu yang sedang duduk.

Sementara Gunung Lembu sendiri terjadi dari proses sumbat lava di tepian Waduk Jatiluhur. Di bawah Gunung Lembu terdapat sumbat lava yang menancap ke bawah, semula berupa magma yang membeku. Sumbat lava itu dipengaruhi oleh panas matahari, dingin, akar tumbuhan dan guyuran hujan, maka sumbat lava itu kemudian membelah diri. Sedikitnya ada 62 bukit batu yang merupakan sumbat lava dari gunung api purba. Pantas saja samar bau belerang sesekali terbawa angin di jalur pendakian.


Batu andesit raksasa di jalur pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Semoga kalian diberkati keberanian menggengam puncak impian, bersukacita dalam perjuangan   | ©JelajahSuwanto

Batu andesit di jalur pendakian Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Bongkah-bongkah andesit di jalur pendakian Gunung Lembu   | ©JelajahSuwanto

 

Jangan Sompral & Jangan Kosong Pikiran

Saya bertanya pada Mamang, apakah ada pantangan ketika mendaki Gunung Lembu. Bagaimanapun, kita para pendaki tetap harus menghormati kearifan lokal setempat. Apalagi kami bawa anak kecil, berjaga-jaga saja.

Mamang berpesan “Jangan sompral aja sama ulah kosong pikirannya.” Minggu kemaren ada serombongan yang kesurupan. "Sembuh satu masuk ke satunya, terus begitu sampai tengah malam," lanjutnya.

“Ada juga anak laki-laki gondrong dari Karawang, dari pos 1 tos katingali pucet. Mamang bilang jangan dilanjut kalau gak kuat naik mah, tapi keukeuh maksa pengen sampai puncak. Mungkin gengsi atau gimana, untung anaknya kuat. Bener, besoknya cerita di jalan diikuti cewek cantik, tapi akhirnya menghilang dekat makam.”

 

Monyet liar Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Edi si monyet usil Gunung Lembu   | ©JelajahSuwanto

 

Edi dan kawan-kawan, Gerombolan Monyet Usil

Orang-orang tertawa di bawah sana, ada juga yang berhas-has hus-hus mengusir sesuatu. Oalah, astaga, si Mas sulung kami sedang rebutan kotak makan sama monyet berbulu kelabu dengan nyali besar. Mereka agresif dan tidak takut pada manusia.

Kawanan monyet masih banyak dijumpai di hutan Gunung Lembu, area puncak dan Batu Lembu. Edi begitu saja pendaki menamainya, dia lincah merebut apa saja yang dibawa pendaki di area Batu Lembu. Sebelumnya, kacang sukro si adek berhasil digondol kawanan itu dalam mode silent secepat kilat. 

Beberapa pendaki terlihat ketakutan, ada juga yang malah mengganggu monyet-monyet ini. Ketika kali ini Edi mengincar tas tangan seseorang, sontak pendaki lain ribut mengingatkan. Edi tak gentar ia memamerkan taring runcingnya. Jangan-jangan perilaku meresahkan kawanan monyet ini sebenarnya ada andil dari pendaki juga. 

 

Monyet liar di bayang senja Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Senja di Gunung Lembu   | ©JelajahSuwanto

Senja sunset di Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Senja di Gunung Lembu  | ©JelajahSuwanto

Sunset & Sunrise Di Batu Lembu

Lembayung terperangkap bayang gunung, kita tak dapat menghantar sunset ke peraduan. Tapi tak mengapa, meski cahaya terakhir mentari terhalang dahan, toh hangatnya tetap terasa. Kita hanya perlu bersyukur dan berharap esok bertemu sunrise.

Sebelum surya terbangun, kami menunggunya di bibir tebing, di atas Batu Lembu. Tentu saja, fajar hari itu mutlak kepunyaan semesta. Biar datang pertama, spot terbaik harus dibagi bersama yang lain. Kudu legowo, ketika adab sopan santun ada kalanya terlupakan ego.  Belum lagi ketika Edi dan kawanannya ingin jua menikmati cahaya pertama. Bagaimanapun terbit mentari di atas Batu Lembu layak dinantikan. Seperti harapan ia menyemangati.

 

Sunrise dari Batu Lembu Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Fajar pertama dari pelataran Batu Lembu   | ©JelajahSuwanto

Sunrise dari Batu Lembu Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Bagaimanapun terbit mentari di atas Batu Lembu layak dinantikan. Seperti harapan ia menyemangati.
| ©JelajahSuwanto

Gunung & Pendaki, Cermin Toleransi dan Kerendahan Hati

Ada semacam kode tak tertulis diantara para pendaki. Biasanya mereka memiliki empati yang besar, solidaritas tinggi, kerelaan berbagi dan membantu tanpa pamrih. Seperti pengalaman Keluarga Suwanto di Gunung Lembu, di saung berlantai bambu dengan baju seadanya tanpa perlengkapan gunung, kami kedinginan. Sulung dan adek jelas gelisah sulit memejamkan mata. Bukan saja berbaring tak nyaman, juga karena dingin mengigit meski kami impit-impitan. “Bu, ini dipakai selimutnya biar adek bisa tidur.” Suara lembut dari gadis pendaki yang barengan tidur di saung itu sungguh menghangatkan.

Atau saat mula pendakian, kami berjalan di depan rombongan pendaki Karawang. Begitu tiba di pertigaan tanpa papan petunjuk, rombongan dari Karawang dengan senang hati memandu sampai di Camp Ceria. “Kita mau ngecamp di sini. Semoga berhasil sampai puncak.” Sambil berbagi senyum, kami bersayonara.

 

Sunrise dari Batu Lembu Gunung Lembu | JelajahSuwanto
Pendaki menunggu matahari terbit di pelataran Batu Lembu  | ©JelajahSuwanto

 

Subuh di pelataran Batu Lembu, berbondong-bondong pendaki menempati spot terbaik untuk menangkap sunrise. Rombongan pemuda jenaka tak henti berbalas kekonyolan. Mereka menyalakan parafin, menjerang air sama riuhnya dengan bercanda. Tak lama udara menguarkan aroma kopi. Sekelompok kawan kantor duduk bersebelahan, lantang berbagi cerita seperti kriuk camilan dan harum popmie yang dibawanya. Udara kini berbau kopi dan popmie. 

Pendaki terniat turun dengan carrier dan tripodnya. Sepasang muda-mudi dengan pakaian merah mencolok sibuk bervlog live di keriuhan pagi Batu Lembu. Udara kini beragam raksi. Dan serombongan lelaki dengan celana 3/4 sibuk mencari tempat, beberapa berteriak memanggil kawannya, lalu wudhu di depan, di bibir tebing tempat sunrise digadang-gadang. Bekas air wudhu basah menggenang. Tempat landai itu nyaris penuh. Mereka sempat urung, naik lagi mungkin ke tendanya. Lantas datang kembali dan puji Tuhan mendapatkan tempat untuk sholat berjamaah. 

“Kalau ada juara sholat yang paling cepat, aku pasti yang menang” seorang dari rombongan pemuda jenaka menyeletuk, disambut gerai tawa yang lainnya. Udara kini menjadi kehidupan. Demikianlah toleransi dijunjung di atas gunung. Kita saling menghargai dan menghormati.


JelajahSuwanto Gunung Lembu Purwakarta
Pada akhirnya semoga engkau belajar Anak-anakku, mendaki gunung bukan tentang mengibarkan egomu. Proses mendaki mengajarkan kita tuk berani merangkul tantangan, menikmati keindahan semesta dan bersyukur senantiasa | ©JelajahSuwanto


P.S: 

Hai #KenSiPenjelajahKecik,  Ayah Bunda bangga loh Ken berhasil mendaki dan turun Gunung Lembu. Melakukannya dengan riang dan antusias, meski kita gak prepare sama sekali. Dan ternyata makan popmie di puncak gunung berlipat-lipat nikmatnya, ya. 



17 komentar:

  1. Wah, Seru, Mbak, pengalamannya mendaki bersama si kecil.

    BalasHapus
  2. Keren banget ini meski nekat juga tanpa prepare ngecamp di Gunung Lembu! Wah, ternyata segitu banyak pendakinya ya Mbak...Dan beneran memang jangan pernah meremehkan ketinggian gunung. Teteup biarpun cuma sekian akan butuh perjuangan. Trek bersahabat begini pas memang buat pemula dan anak ya...
    Dan sepadan trekking-nya, sunset dan sunrise-nya warbiyaaaa!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyess, Mbak Dian. Pemandangan dari puncak sepadan sama serunya pendakian. Yang penting anak keciknya happy :)

      Hapus
  3. Wah! Seru sekali perjalanan pendakiannya. Aku belum terealisasi nih impian mengajak anak-anak mendaki. Kayaknya sih bakal sewa porter buat bawakan carrier, hahaha ...

    Semula aku penasaran loh Mbak, ketinggiannya masih di kisaran 700an mdpl kok disebut gunung. Mungkin karena adanya magma beku di bawahnya, ya. Hmmm ... Bisa dipertimbangkan nih buat ke Purwakarta aja. Dekat kan, hihihi ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya Mbak karena merupakan sumbat lava dari gunung api Purba. Dan biarpun tertulis hanya 792 mdpl, tetep berasa ndaki ko.
      Ada sewa porter juga di Gunung Lembu. Kemaren sempat ada yang nawarin, tapi kita mah kagak bawa apa-apa :p

      Hapus
  4. wah seru bangeeet mba, saya udah lama banget enggak traveling apalagi naik gunung hihi, baru tahu saya gunung lembu. nanti alo kondisi udah baikan mau ah jelajah ke sini juga. makasih sharingnya, mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gunung Lembu cocok buat yang udah lama gak naik. Itung-itung pemanasan dulu.

      Hapus
  5. Kisahnya seru banget nih mba. Jelajah suwanto lama gak update yaa, atau saya aja yang sering ketinggalan update ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duuh iya nih tutup muka, emang lagi gak produktif ngeblog nih.
      Semoga abis ini lebih rajin lagi.

      Hapus
  6. Suka dengan tulisan travel feature ala Mbak Sri ini. Seakan saya jadi ikut mendaki. Yes, soalnya belum pernah sama sekali sih saya, hehe. Tapi cukup suka membaca tentang pendakian baik itu ulasan nyata seperti ini ataupun di novel dan film. Filosofi pendakian itu lho, selalu jlebb. Persis seperti caption yang Mbak tuliskan di foto-foto ini.

    Btw, Dek Ken usia berapa, Mbak? Salut karena jago juga seperti kakak dan ornag tuanya :)

    BalasHapus
  7. Waah, seru banget sekeluarga camping ke Gunung. Tulisannya lengkap banget, sangat bisa menjadi referensi bagi yang akan ke Gunung Lembu ya. Ditunggu cerita lainnya mbak..

    BalasHapus
  8. Wah. Sudah sejak lama yuni pengen mendaki. Kalau anak kecil saja bisa daki ke gunung lembu, masa iya yuni kalah.

    Oke, perlu direncanakan ini keknya.

    BalasHapus
  9. Sayang baru tahu ya ... Anakku 3 jagoan jauh dari alam jadinya hiks

    BalasHapus
  10. Subhanalloh bisa mendaki sekeluarga, nikmatnya tak terhingga bisa menghirup segarnya udara yang kaya dengan oksigen bebas.

    BalasHapus
  11. Halo, salam kenal! :) Boleh minta kontak orang Gunung Lembu nya kah? Saya rencana pengen juga kesana. Terima kasih sebelumnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung. Saya dapat kontak Gunung Lembu WA 083829720126.

      Hapus