Mendaki sembarang bukit di pesisir Minahasa yang eksotis | © jelajahsuwanto |
Mahembang, pantai yang digadang-gadang seperti Bali-nya Minahasa ditutup tanpa alasan jelas. Kami dan satu rombongan yang juga baru sampai tetap dilarang masuk. Biarpun nawar pada penduduk di dekat pos jaga, kalau memang alasannya keselamatan, kami jamin jadi tanggungan pribadi.
Sebenarnya keluarga Suwanto bisa saja nekat keukeuh jalan kaki ke pantai, toh kendaraan diparkir dekat dari lokasi. Hanya saja, kami menghormati penduduk lokal yang tadi bersimpati.
“Jangan, nanti kita kena, dikira nimbun uang dari pengunjung. Ini saja ada yang diam-diam pasang mata”.
Hmm, begitu rupanya. Sangat disayangkan, indikasi salah kelola tersirat kentara.
Mengecewakan, informasi penutupan Pantai Mahemanbang yang kurang jelas | © jelajahsuwanto |
Dilarang Masuk Tanpa Penjelasan
Payahnya, pos masuk Pantai Mahembang senyap, tidak berpenjaga. Padahal siang dan hari libur. Itu jam sibuk buat jaga pos kan, mestinya?
Kalau ada orang nyambut pake senyum, bagus-bagus kasih penjelasan, kayaknya kita nggak akan kecewa banget. 3 jam perjalanan itu enggak sekedip mata loh, Bambang. Atau minimal di papan pengumuman itu dikasih informasi gamblang mengapa ditutup dan kapan perkiraan dibuka lagi.
Sebagai pelancong terniat, saya merasa dikhianati. Harus legowo, kami putar haluan, balik ke arah Makalisung.
Kalau ada orang nyambut pake senyum, bagus-bagus kasih penjelasan, kayaknya kita nggak akan kecewa banget. 3 jam perjalanan itu enggak sekedip mata loh, Bambang. Atau minimal di papan pengumuman itu dikasih informasi gamblang mengapa ditutup dan kapan perkiraan dibuka lagi.
Sebagai pelancong terniat, saya merasa dikhianati. Harus legowo, kami putar haluan, balik ke arah Makalisung.
Mengusung semangat jelajahsuwanto, jangan ada getun di antara kita. Maka zonk hari itu beralih degap-degap.
Perahu nelayan tertambat rapi di tepian Pantai Makalisung | © jelajahsuwanto |
Pasir keemasan tertimpa mentari di Pantai Makalisung | © jelajahsuwanto |
Pantai Makalisung Kombi Minahasa
Selalu ada limpah syukur dalam setiap perjalanan. Puji Tuhan, sebelum ke Mahembang kami singgah sekadar mengambil foto dan mengumpulkan cangkang kerang di Pantai Makalisung yang lokasinya persis di pinggir jalan raya. Pantai Makalisung secara administratif berada di Desa Makalisung, Kombi, Minahasa.Siang itu sepi, lautan tenang membiaskan warna langit. Perahu-perahu ditinggalkan nelayan, tertambat rapi di tepian pantai. Pasir keeemasan memantulkan terik mentari. Di cuaca secerah ini hanya ada sepasang muda-mudi di bawah Kwaru Laut.
Apakah mungkin Pantai Makalisung belum dikelola sebagai tempat pariwisata? Pertanyaan itu terlintas mengingat fasilitas wisata sungguh tak kasatmata. Tidak ada toilet, warung makan, atau tempat istirahat.
Bisa jadi bagi penduduk pesisir pemandangan bahari ini biasa saja, sehari-hari mereka melewatinya. Tapi untuk pendatang seperti kami, dapat menjejak kaki saja membawa memori yang indah.
Bisa jadi bagi penduduk pesisir pemandangan bahari ini biasa saja, sehari-hari mereka melewatinya. Tapi untuk pendatang seperti kami, dapat menjejak kaki saja membawa memori yang indah.
Pantai Makalisung suatu siang | © jelajahsuwanto |
#KenSiPenjelajahKecik di Pantai Makalisung | © jelajahsuwanto |
Sesungguhnya lenggak-lenggok pesisir Minahasa menumbuhkan semacam romantisme perjalanan. Perbukitan dan gunung gemunung membawa sukacitanya sendiri.
Kami sembarang berhenti, demi melihat sebuah bukit hijau merona. Menaklukkan bukit cantik ini lumayan mudah sebab tidak terlalu tinggi, kurang lebih 10 menitan mendaki. Tiba di atas kami cuma diam. Menghirup udara dalam-dalam, memandang lautan dan bukit-bukit lain nun di kejauhan. Lalu tergelak, balapan lari menuju mobil lantaran gerimis menyapa lagi.
Kami sembarang berhenti, demi melihat sebuah bukit hijau merona. Menaklukkan bukit cantik ini lumayan mudah sebab tidak terlalu tinggi, kurang lebih 10 menitan mendaki. Tiba di atas kami cuma diam. Menghirup udara dalam-dalam, memandang lautan dan bukit-bukit lain nun di kejauhan. Lalu tergelak, balapan lari menuju mobil lantaran gerimis menyapa lagi.
Ya, bahagia harus diciptakan, biar kita bebas merdeka dari gulana.
Bukit-bukit hijau merona di sepanjang pesisir Minahasa | © jelajahsuwanto |
Bentang alam Minahasa yang menawan | © jelajahsuwanto |
Singgah makan di Kanzo Beach Resto
Kanzo Beach Resto sepertinya menjadi warung makan representatif di jalur sepi ini. Kanzo berada di pinggir pantai berpasir landai, tidak jauh dari Pantai Triple M. Ombak di depan Kanzo agak besar, bikin kurang nyaman melepas kecik bermain.
Ikan bakar, dabu-dabu, juga cah kangkung jadi pilihan menu pelepas penat. Ditambah kelapa muda dan keripik goroho, gratis dari Ibu pemilik. Makan siang ini dihargai paketan untuk sekeluarga, 4 orang. Bukan dihitung per menu. Harganya relatif wajar, sesuai lah, kisaran 100-150 ribu. Rasa masakan cukup menyenangkan lidah, walau kurang istimewa. Keramahan pemiliknya-lah yang spesial.
Ikan bakar, dabu-dabu, juga cah kangkung jadi pilihan menu pelepas penat. Ditambah kelapa muda dan keripik goroho, gratis dari Ibu pemilik. Makan siang ini dihargai paketan untuk sekeluarga, 4 orang. Bukan dihitung per menu. Harganya relatif wajar, sesuai lah, kisaran 100-150 ribu. Rasa masakan cukup menyenangkan lidah, walau kurang istimewa. Keramahan pemiliknya-lah yang spesial.
Ombak di depan Kanzo Beach Resto relatif besar | © jelajahsuwanto |
Yang bikin Jantung Berdegap-degap :)
Si Ibu pemilik Kanzo bilang kami seharusnya kembali ke arah Mahembang melalui jalur alternatif baru via Tondano. Ia menjelaskan detail rute yang akan ditempuh. "Biar kecil, jalan so aspal, mobil bisa lewat. Kalau mau lewat jalan berangkat tadi juga ga masalah. Mana-mana,” katanya membuat pilihan terbuka.
Bulat sudah, ikut saran si Ibu. Senja dan gerimis turun bersamaan. Kami pamitan, bersiap melaju.
Belum juga membuka pintu mobil, suara bariton lelaki yang sedari tadi mencuri-curi pandang ke meja kami, mengubah segalanya.
Bulat sudah, ikut saran si Ibu. Senja dan gerimis turun bersamaan. Kami pamitan, bersiap melaju.
Belum juga membuka pintu mobil, suara bariton lelaki yang sedari tadi mencuri-curi pandang ke meja kami, mengubah segalanya.
“Mau ke arah Mahembang ya?” mengagetkan ia bertanya.
“Saya nebeng!” dingin dan bernada maksa. Ada sebilah pisau di pinggangnya. Sontak waspada alert plus deg-degan, orang ini tahu rencana kami.
“Maaf, kami ke arah Makalisung,” Suami membalas sopan. Aku peka melihat gelagatnya.
“Yaah, tidak jadi kalau gitu. Benar lewat Makalisung?” selidiknya seolah menangkap ketakutan kami. Bau alkohol tajam menyeruak.
“Ya, maaf!” tanpa babibu, anak-anak dikode masuk mobil.
Dan, begitulah kami berada di jalur balik Makalisung, Kombi. Kira-kira 45 menit, Pak Suami belok arah, manut suara Mbak-Mbak di Google Maps. Bukan kembali ke jalur berangkat, tapi mengikuti aspal mulus membelah bukit-bukit perawan, hutan perdu, ladang jagung, perkebunan nyiur, pisang juga kebun cengkeh. Di tengah gerimis. . .
Seru. Aura petualangan menguapkan rasa khawatir dari incaran mata merah lelaki mabuk di Kanzo.
Jalan lurus itu semakin menanjak, menyempit, lantas menciut seukuran satu mobil saja. Luar biasa, gulita dan gerimis yang syahdu kali ini bisa-bisanya kompak membuat labil detak jantungku. Ingin aku seperti anak-anak, cepat sekali mereka tertidur di kursi belakang, tanpa pikiran negatif, tanpa beban. Damai.
Melintasi perkebunan pisang di rute Minahasa | © jelajahsuwanto |
Makalisung Manado Via Tondano
Mbak Google Maps telah lama bungkam, sinyal hilang ditelan bayang hutan. Gusti, sumpah ini horor. Kami masih menembus bukit antah berantah yang terasa amaaat panjang.
Ketika sedikit saja melintasi perkampungan, rasa hangat mengalir. Namun, perkampungan bisa dihitung jari. Cepat pula terlintasi. Jalan kini menurun, bergelombang. Satu sisi tebing, sampingnya lagi jurang.
Tondano, malam itu aku ingin lekas menjejak kotamu. Sambil melirik indikator bensin, berdoa semoga si X-Trail kuat, selamat tiba di rumah.
Tondano, malam itu aku ingin lekas menjejak kotamu. Sambil melirik indikator bensin, berdoa semoga si X-Trail kuat, selamat tiba di rumah.
Google Maps mulai rerouting, kumpulan air terlihat hitam di bawah sana. Danau Tondano, tak pernah sesenang ini aku mengucapkannya.
Memasuki kota Tondano, setelah numpang ke kamar kecil di Ind*m***t, perjalanan menuju Manado tak lagi merisaukan. Kami saling lirik, berbalas senyum dan mengeratkan pegangan tangan. Sementara itu anak-anak masih lelap, kagak tahu betapa bergeloranya hati Emak Bapak tadi. Ah, biarlah tetap begitu. Apapun jelajahnya, so much better, when we’re together. Itulah hakikat jelajahsuwanto.
Terima kasih pesisir Minahasa, suatu hari kami akan datang lagi.
**
Kata yang mungkin asing, ada ko di KBBI:
Degap-degap >> tiruan bunyi debaran jantung
Getun >> kecewa; menyesal
Legowo >> bentuk tidak baku dari legawa; dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela
Kasatmata >> dapat dilihat; nyata; konkret
Bahari >> indah; elok sekali
Manut >> suka menurut; patuh
Terima kasih pesisir Minahasa, suatu hari kami akan datang lagi.
**
Kata yang mungkin asing, ada ko di KBBI:
Degap-degap >> tiruan bunyi debaran jantung
Getun >> kecewa; menyesal
Legowo >> bentuk tidak baku dari legawa; dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela
Kasatmata >> dapat dilihat; nyata; konkret
Bahari >> indah; elok sekali
Manut >> suka menurut; patuh
Wah seru sekali mbak perjalanannya. Pake ketemu si Bapak yang sangar juga ya hhh, jadi ikut deg-degan saya bacanya. Untung orangnya percaya ya. Petualangan yang benar- benar tak terlupakan pasti ya Mbak.
BalasHapusHallo, salam kenal bu.. Saya hanya mau rekomendasi untuk jelajahsuwanto sekali2 ke pulau lembeh di kota bitung bu, di sana banyak tempat2 wisata yang keindahan laut dan alamnya di sana sangat cocok bu. seperti ; Pantai Kahona, pantai Salise, pantai lirang, puncak lembeh, patung Tuhan Yesus dll. Dari Bitung bisa bwh mobil juga ke lembeh dengan cara naik kapal feri di pelabuhan feri yang ada di bitung. "Di pantai salise juga cocok utk camping dan mancing (tapi alat dan peralatannya di bwh sndri)". Semoga jelajahsuwanto bisa menulis pesonanya Pulau Lembeh di Kota Bitung.
BalasHapusDegdegan baca ceritanya mba, pas ketemu bapak bapak yang bawa golok dan google maps mati ga ada sinyal. Kebayang sih horornya lagi di jalanan sepi dan kanan kiri hutan begitu.
BalasHapusTapi besyukur bisa kembali dengan selamat ya
Ikut merasa deg-deg ser juga bacanya. Apalagi pas bertemu dengan bapak-bapak yang pingin nebeng tapi bawaannya senjata tajam. Nggak berani membayangkan. Isinya bayangannya hal-hal negatif takutnya. HEhehe
BalasHapusDuhaaai ... Aku paling suka sama foto anak yang berlari dikejar ombak. Baguuus banget. Nggak ngeblur, ya. Impian banget nih bisa jalan-jalan keliling Indonesia termasuk Sulawesi. Belum pernah sama sekali, hahaha ...
BalasHapusDi sana sepertinya banyak wisata pantai ya, Mbak? Seru banget lho perjalanan yang diceritakan ini. Apalagi ingat bapak-bapak yang mau nebeng itu, hiyaaa ... Lari seribu langkahnya kepengennya.
Wuah udah lama bangeeet gak traveling ke pantai, kangeeen euy! bagus ih tempatnya jadi pingin jalan-jalan pulau sulawesi, belum pernah nih seumur-umur paling jauh kalimantan wkwkwk. makasih mba infonya.
BalasHapuswaduuh....seru dan mendebarkan. Benar2 mwndebarkan tp mengesankan ya Mba...
BalasHapusBaru tahu degap-degap saya dan beneran ..pas baca ikut juga berdegap-degap. Apaalgi pas ada lelaki yang pengin nebeng ituuuh
BalasHapusKeren banget pantainya dan seperti biasa Mbak Sri bercerita dengan gaya khasnya yang bikin cerita makin istimewa