Gua Maria Watansopeng Sulawesi: Sisi Lain Perjalanan


Gua Maria Paroki Santa Maria Bunda Pengharapan Wattansoppeng +fotojelajahsuwanto

The Other Side of Celebes

Di pagi hari itu kami sudah memiliki agenda untuk pergi ke Gua Maria Watansoppeng. Satu-satunya Gua Maria yang teridentifikasi google berada di Sulawesi Selatan. Hanya ada satu informasi yang sama. Gua Maria Paroki Santa maria Bunda Pengharapan, Jl. Samudera No. 48 Wattansoppeng. Jarak Makassar-Watansoppeng diperkirakan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam.

Jam di dinding kamar telah lama melewati angka 8. Kami masih juga berbenah. Padahal rencananya kami akan kembali ke Makassar pada sore hari. Jam tubuh kami memang harus segera diperbaiki, karena di saat hari libur secara otomatis mata akan terbuka ketika jarum jam melewati angka 7. Bepergian dengan dua orang putera berusia 10 dan 3 tahun tentu membutuhkan persiapan ekstra. Masih juga ditambah dengan sarapan bubur, mengisi nitrogen, pertamax dan mampir ATM. Jangan heran jika perjalanan menuju Watansoppeng baru benar-benar dimulai ketika jam mobil menunjuk angka 10:17. 

Matahari sudah memancarkan panasnya. Mengiringi kami yang sudah panas menyambut perjalanan. Avanza black metalic kami yang setia telah selesai menyusur tol dalam kota, kemudian masuk Kabupaten Maros. 
“Soppeng bisa ditempuh dari dua jalur, Bun. Jalur Buludua dan Camba.” ayah memberi penjelasan 
“Terus, kita mau lewat mana?” 
“Temen Ayah bilang, jalur Buludua jalannya rusak parah. So, kamu akan melihat the other side of Celebes” 
“Hmm, kayak apa tuh?” 
“Lihat saja dan nikmati” 
Baiklah jika begitu, mari kita nikmati saja jelajahnya.

Taman Nasional Bantimurung sudah terlewat. Pesawahan hijau berdinding bukit – bukit karst terekam mata. Tertinggal di benak, dan terlewati laju kami, yang terus bergerak maju. Tiba di perbatasan Bantimurung, kami masuk ke Wilayah Camba. Jalanan mulai menanjak. Kami disambut dengan kelokan pertama yang cukup tajam.

Anak-anak yang sedari tadi heboh dengan lego mereka kini tak ada suara, sunyi senyap. Ternyata kedua anak lelakiku itu sudah pindah ke jok belakang, tempat “lubang khayalan” mereka. Untunglah, mereka kini terbawa lelap dengan bantal-bantal kesayangannya. Kalau tidak, bunda harus bersiap mengantisipasi mabuk kelokan.

Kelokan-kelokan di poros camba jumlahnya terus bertambah tak sanggup kuhitung. Jalanan terus menanjak. Sejujurnya, kelok-kelok ini masuk ukuran ekstrim bagiku, membuat isi perut agak terguncang. Namun, sisi kiri dan kanan jalan dapat mengalihkan mabuk perjalanan. Hutan hijau yang lebat. Pohon-pohon besar: Mahoni, Trembesi, Beringin, Asem, Bambu, dan banyak lagi yang tak kutahu namanya. Rupanya jalan ini berada di tengah wilayah Konversasi Hutan.

“Wooow, batunya besar sekali, Amazing . .” pekikku terpesona. Batu berukuran besar dengan bentuk yang eksotis memagari jalan kami. 
“Jalan ini membelah pegunungan karts, Bun”. 
“Apalagi pertama kali, aku lewat jalan ini, sudah mulai malam, terasa seperti ada aura mistis” 
“Hmmm ..yaa, yaa…bisa kurasakan juga . . “  
Sinar matahari memang tertahan rimbunnya daun-daun pepohonan di hutan konservasi di tengah pegunungan karts ini. Siang hari saja terasa redup. Redup yang lembut. ehemmm bagaimana jika kau lewat tengah malam dan tiba-tiba saja mobilmu mogok di tempat seperti ini . . .. uhhhuuiii khayalan mistis muncul . .

Kami tidak hanya sendiri di jalanan liar ini. Banyak truk besar, truk pertamina dan mobil-mobil pribadi yang merayap di depan kami. Mereka nampaknya sudah berpengalaman dengan liak-liuk, kelak-kelok poros Camba. Tidak heran, karena jalan ini ternyata juga merupakan jalur Trans Sulawesi menuju Kabupaten Bone dan Sulawesi Tenggara.

“Hahaha . . lihat papan petunjuk jalan tadi gak? Kurang lebihnyaAnda memasuki wilayah yang tidak memiliki marka jalan” Ocehku ketika melihat tulisan tua di pinggir jalan. 
“Masih bagus di kasih peringatan…” si ayah menimpali, sambil juga tertawa 
“Ya sih, selanjutnya terserah anda, semoga selamat sampai di tujuan” .
“DepHub-kah yang bikin?” 
“Mungkin? .. mestinya ya?”
 
Sungguh Marka jalan yang menghibur.

***
Di tengah hutan lebat itu, tepat setelah kelokan tajam, ada lelaki separuh baya. Ia berjongkok di pinggir jalan. Di hadapannya ada 3 botol bekas air mineral berisi cairan berwarna coklat. 
“di rumah madunya dah habis kan?” si ayah bertanya tetapi matanya tetap fokus dengan kemudi. 
“iya sudah habis. Madu hutan ya?”
“Iya, nanti kalau di depan ada lagi, kita beli” 
“Yup” 
Hutan semakin lebat, kelokannya tetap menantang. Kami telah melewati papan kayu tua bertuliskan “pengolahan lebah madu”. Sekitar 15 menit sesudahnya, kelokan tajam lagi. Ada bongkahan karst besar di kanan jalan. Seorang lelaki hitam kekar keluar dari celah sempit dengan botol berisi cairan coklat di tangannya.
“aaahhh kenapa sih jualannya di tempat susah begini. Gak di tempat yang rada landai kek..”
“abis kalo mau ke tempat landai bediong, berat diongkos, pak” (Selama melintas kelok camba, tidak kulihat angkutan umum di jalanan ini)
“hehehe. . iya yaa, kalau jalan kaki juga keburu gemporr” 
“Iya lah, lha wong di tengah hutan konservasi gini”

Kami terus menari di kelokan dan tanjakan-tanjakan camba. Tidak dijumpai lagi lelaki serupa dengan botol berisi cairan coklat. Rupanya hanya takdir atau jodoh saja yang dapat mempertemukan pembeli dan penjual madu hutan ini. 
Setelah sekitar 1 jam perjalanan membelah sisi lain sulawesi. Jalanan sudah mulai landai. Tanda – tanda kehidupan manusia sudah jelas terlihat. Tampak deretan bola ugi di kiri kanan jalan. 
“Itu rumah asli sulawesi kan? Rumahnya dari kayu begitu, bagus ya. Bentuknya panggung, mungkin dulunya untuk menghindari binatang buas?” cerocosku, begitu melihat deretan rumah-rumah panggung khas Sulawesi.
Iya itu Bola Ugi, rumah tradisional bugis. Rumah rakyat biasa.” 
Emang kalau selain rakyat biasa, bentuk rumahnya lain?
Kalau keturunan raja atau bangsawan tinggalnya di Saoraja, rumah besar, bentuknya persegi empat” 
“Persegi empat?  
“ya, “sulapa’eppa”, ada falsafahnya lho”.
“Apa tuh Yah?” 
“Yang kudengar sih, mulanya dari pandangan hidup Masyarakat Bugis yang memahami alam semesta secara universal. Dunia dipandang dari empat sisi, tujuannya untuk mencari kesempurnaan ideal mengenali dan mengatasi kelemahan manusia, begitu . ..” 
“Waa infonya mantap pak dosen, filosofinya boleh juga” 
Dan kami menemukan Pom Bensin pertama setelah berkelak kelok, pom bensin Desa Timpuseng Kecamatan Camba. Semua pasukan turun untuk melepas panggilan alam dan jeda sejenak dari berkendara.
      
Jalur Camba Wattansopeng: Pom Bensin Desa Timpuseng +fotojelajahsuwanto
Selanjutnya setelah Takkalalla, saatnya meminta bantuan travelmate kami, Google Maps. Di sebuah pertigaan, ia mengarahkan melalui jalan desa yang rusak. Penuh lubang dan berguncang-guncang. Di kiri kanan jalan, hamparan pesawahan membentang, dibingkai bukit – bukit hijau. Buka jendela mobil dan hirup udara segar sebanyak-banyaknya. Namun sayang, tetap saja kali ini si kecil kalah oleh guncangan jalan. Mabuk perjalanan lah ia. Sediih. 
Obat dari mabuk perjalanan adalah minyak telon dan dekapan hangat seorang ibu. Mujarab teramat sangat.



Jalur Camba Wattansopeng: Pemandangan yang menghibur saat jalanan rusak  +fotojelajahsuwanto 
 
Papan Petunjuk Antara Ada dan Tiada 
Akhirnya tiba juga di poros Watansoppeng... Jalan utamanya mulus, luss. ...
Tidaaak. Seharusnya jika kami jeli mengikuti petunjuk arah di jalan, kami bisa langsung melewati jalan mulus ini tanpa harus diospek terlebih dahulu.
Google Maps, memang sangat tahu kebutuhan. Dia memberikan jalan bergerunjal gerunjil untuk sang peziarah.
Estimasi tujuan tinggal sebentar lagi, mari kita ikuti saja directionnya.

Jalan samudera telah terlewat. Tidak ada petunjuk apapun. 
Kami sudah naik ke Jalan Kayangan. 
Tersesat. 
Senjata pamungkas adalah menelepon nomor yang tertera di pencarian google: Telepon Gua Maria WattanSopeng 0484 21362     
Sebelum Rumah Sakit Umum Soppeng, ada SMP Negeri 1 Soppeng, ada jalan kecil diantaranya. Masuklah ke jalan itu”. Demikian petunjuk dari seberang telepon.

Tidak sampai 5 menit, bisa kita lihat sebuah bangunan tua bertanda salib dengan tanda salib kecil di atasnya. Ada papan bertuliskan SELAMAT DATANG, pohon Kamboja putih dan aura damai. Hanya itu petunjuk yang kasat mata. Tidak ada yang lain. 



Gereja Paroki Santa Maria Bunda Pengharapan +fotojelajahsuwanto

Selamat Datang di Gereja Paroki Santa Maria Bunda Pengharapan. Tempat dimana Gua Maria Pietta Wattansoppeng berada.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELUARGA SUWANTO

KELUARGA SUWANTO
Keluarga Suwanto di Ranger Station Raja Ampat

Recent Posts

Popular Posts

Label