Panorama Waduk Jatiluhur dari jalur pendakian Gunung Lembu | © JelajahSuwanto |
Ruah keemasan menerangi punggung gunung, menjalarkan hangat pada jiwa-jiwa alam. Keluarga Suwanto bergegas menuruni Gunung Lembu dengan satu asa kamar mandi di basecamp. Sayang, tiba di tujuan kami kecewa. Lorong menuju kamar kecil ditutup papan kayu. Tertempel kertas kuarto “AIR HABIS”. Lari ke warung seberang yang juga menyediakan beberapa kakus, sama saja. “Musim sekarang airnya susah, Neng. Seret. Kemungkinan baru nanti sore ada mobil yang bawa air.” Bapak di warung mie ayam itu menandaskan.
Gunung Lembu 792 mdpl lokasinya tak jauh dari Jakarta, berada di Kampung Panunggal, Desa Panyindangan, Sukatani, Purwakarta. Selain treknya yang ramah bagi pendaki cilik maupun pemula, Gunung Lembu memiliki jua keunikan sebuah pelataran batu di bibir tebing. Dikenal dengan nama Batu Lembu. Waduk Jatiluhur dengan rumpon-rumpon nelayan, pulau di tengah waduk, pemukiman dan gunung gemunung yang membingkainya terlukis sempurna dari ketinggian Batu Lembu.
Krisis air di wilayah Waduk Jatiluhur, salah satu bendungan terbesar di Indonesia yang area tangkapan DAS-nya seluas 4.500 kilometer persegi, bukankah ini sebuah tanda tanya?
Perubahan Iklim, Pengertian dan Dampaknya
Jumat, 14 Agustus 2020 pada webinar Suara Kita Tentang Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh KBR (Kantor Berita Radio) bekerjasama dengan Internews dan Earth Journalism Network, Bapak Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia memaparkan bahwa krisis air merupakan salah satu dampak nyata dari perubahan iklim.
Kata “Perubahan iklim” sudah tak asing bagi kita. Perubahan iklim nyata menjadi ancaman kehidupan, bukan lagi isu atau kabar burung. Namun, benarkah kita memahaminya? Sungguhkah setiap kita menyadari bahwa bumi ini, rumah kita bersama sedang menanggung lara akibat perubahan iklim?
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mendefinisikan perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Sederhananya dalam bahasa awam, perubahan iklim adalah ketidakteraturan musim.
Lebih jelasnya Pak Mubariq menerangkan sebagai musim yang makin tidak teratur dan ekstrem. “Jadi musim hujan makin pendek, tapi ketika saat puncaknya sangat intens. Begitu juga musim panas bisa makin pendek, kadang juga panjang. Tapi ketika musim panas lebih pendek, panasnya menjadi ekstrem.”
Pergeseran musim tentu mempunyai banyak implikasi yang mengarah pada kerusakan lingkungan. Doktor yang juga dikenal sebagai konsultan, ahli ekonomi dan lingkungan hidup Indonesia ini menjelaskan dengan gamblang, dampak perubahan iklim sebagai berikut:
Dampak Perubahan Iklim, Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia |© JelajahSuwanto |
Dan sedihnya dampak perubahan iklim tidak berimbang bagi golongan masyarakat, pun tidak adil secara gender. “Orang kaya kalau udara makin panas ya dia tinggal beli AC satu lagi. Orang miskin gak bisa beli AC, gak punya pilihan. Dan ketika AC sudah dibeli maka dampak berikutnya yang merasakan orang miskin juga. Yang kebanjiran kan orang miskin bukan orang kaya.” Demikian pengamatan lelaki yang telah menikmati 30 tahun berkarir sebagai peneliti itu. “Ketika air susah tentu menjadi beban tambahan untuk ibu-ibu yang mengurus rumah tangga. Jadi luar biasa dampak perubahan iklim itu dan tidak adil secara gender.”
Kita Sebagai Korban Sekaligus Penyebab Perubahan Iklim
Gunung Lembu di petang berangin itu berjebah pendaki, yang konon ngakunya pecinta alam. Tangan saya penuh menjinjing tas dan sepatu #KenSiPenjelajahKecik yang ia lepas karena tak nyaman dipakai merayapi lereng batu. Milenial berjejer menanti senja sembari mengolok monyet usil Gunung Lembu. Apes buat saya, tersenggol sesembak yang jalan buru-buru sepatu kanan Adek jatuh ke lubang batu. Hilang tak terlihat.
Mana itu sepatu Adek satu-satunya, ya buat sekolah, ya buat jalan, maka dengan usaha luar biasa saya menuruni jurang setinggi 2 meter dibantu pemilik warung. Lubang itu kecil menganga diantara punggung Batu Lembu. Benarlah sepatu Adek tersangkut diantara bebatuan. Dan di sana di dasar jurang, pemandangan sungguh menyedihkan. Sampah plastik, bungkus makanan kemasan, bekas botol air mineral, styrofoam wadah mie instan, kresek dan lainnya berserak di tanah kering bulan Agustus.
Sebagian kecil sampah di pelataran Batu Lembu, sayang tidak bawa hape ke bawah jurang buat bukti perilaku pencinta alam terhadap sampah, miris ya :( |
Fakta di lapangan memang memprihatinkan. Kita merasakan dampak dari perubahan iklim tetapi perilaku kita baik disadari maupun tidak justru menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Miris, rupa-rupanya kita hanya penikmat alam, alih-alih mencintai, kita justru mengeksploitasi alam untuk kesenangan pribadi.
Pak Mubariq Ahmad yang meraih gelar Ph.D dalam Sumber Daya Alam dan Ekonomi Lingkungan dari Michigan State University kembali memerikan persoalan besar yang kita hadapi terkait perubahan iklim. Secara global, Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, walaupun sekarang mulai signifikan menurun. Masih terdapat 2 isu persoalan besar yang terkait perubahan iklim, yaitu persoalan hutan dan masalah bidang energi. Berikut pemaparan beliau:
Persoalan Besar Terkait Perubahan Iklim, Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia | © JelajahSuwanto |
Secara umum Pak Mubariq menyoroti perilaku kita yang masih menjadi ‘PR' alias pekerjaan rumah terkait perubahan iklim. Pertama adalah perilaku koruptif dari pemangku kepentingan terhadap pemanfaatan lahan maupun produksi energi. Beliau memberi contoh eksplisit cover Majalah Tempo yang mengekspos pembangunan jalan di hutan restorasi demi tambang batubara. Kedua yang tak kalah penting adalah perilaku dari individu-individu dan rumah tangga dalam memproduksi dan mengelola sampah.
Rasanya saya sepakat bahwa negeri ini mendekati krisis dalam pengelolaan sampah, termasuk kesadaran individunya.
Cerita Kita Merawat Rumah Kita Bersama
Upaya Gigih Bidan Penyu Alun Utara Demi Ekosistem Laut yang Lebih Baik
Sampah plastik menjadi
kekhawatiran Pak Zul Karnedi penggerak Komunitas Pelestari Penyu Alun Utara di
Desa Pekik Nyaring, Pondok Kelapa, Bengkulu Tengah. Sampah-sampah yang dibawa
arus muara tertampung di laut Bengkulu mengancam keanekaragaman hayati laut. Sampah
ini menjadi salah satu penyebab kematian penyu. “Dulu ada beberapa ekor penyu
yang sempat mendarat dan mati, ketika dibelah di dalam perutnya ternyata isi
sampah plastik dan kaleng-kaleng.” Sungguh mengenaskan.
Sebelum terbentuk Komunitas Alun Utara, Pak Zul mendapat tantangan luar biasa dari lingkungannya. “Sampai-sampai dulu saya pernah dibilang orang gila, bodoh katanya.” Namun, Pak Zul tetap gigih memberi sosialisasi pada masyarakat bahwa penyu ini bisa menyelamatkan ekosistem kehidupan laut. Bila kehidupan laut membaik tentu akan menambah penghasilan masyarakat nantinya. “Kalau kita sebarluaskan penyu-penyu lagi, kita terus lestarikan lagi, Insya Allah pantai dan laut-laut kita bisa seperti semula.”
Selamatkan Penyu Lestarikan Ekosistem Laut Bengkulu Pak Zul Karnedi, Penyelamat Penyu Komunitas Alun Utara Bengkulu | © JelajahSuwanto |
Penggunaan Menstrual Cup untuk Mengurangi Sampah Pembalut Sekali Pakai
Bermula dari pertanyaan iseng pada petugas sampah di daerah tempat tinggalnya, seorang blogger Siti Hairul Dayah terhenyak. Pembalut sekali pakai selain membuat petugas sampah tak nyaman, ternyata juga tidak dapat di-recyle meski oleh mesin pengolah sampah. Pembalut ini akhirnya menjadi timbunan di TPA Piyungan, Bantul. Mak Irul, demikian beliau disapa terpanggil untuk melakukan aksi nyata. Sebagai ibu, lebih dulu ia memakaikan popok kain yang lebih ramah lingkungan untuk anak-anaknya. “Rasanya ketika anak saya tidak memakai popok sekali pakai, masa saya masih menggunakan pembalut sekali pakai. Kayaknya gak adil.” Demikian akhirnya dari hasil googling, survei dan menabung Mak Irul memantapkan hati menggunakan menstrual cup hingga saat ini.
Menstrual Cup Upaya Memutus Sampah Pembalut Sekali Pakai - Siti Hairul Dayah, Blogger Yogyakarta | © JelajahSuwanto | Foto Menstrual cup: Ebay |
Sampah pembalut
wanita tidak bisa dipandang sebelah mata bagi perubahan iklim. Sebuah data
mengejutkan dilansir dari National Geographic, jika setiap wanita mengalami
menstruasi rata-rata seminggu dan setiap harinya katakanlah ganti pembalut
hingga 4 kali, artinya setiap satu siklus bulanan wanita ada 28 limbah tak
terurai. Berdasar data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, penduduk
perempuan dari rentang usia 10-49 tahun di Indonesia berjumlah 82,6 juta, maka
setiap bulannya Indonesia menanggung 2,3 milyar lembar sampah pembalut. Wow!
Saya sungguh
mengapresiasi Mak Irul yang beralih menggunakan menstrual cup. Kisah beliau dapat
membuka perspektif baru bagi wanita Indonesia bahwa ada pilihan baru yang lebih
ramah lingkungan.
Menjaga Hutan Bagi Keberlangsungan Bumi
Davina Veronica
Hariadi, sosok anggun yang dikenal sebagai model, aktris dan pegiat satwa berbagi gambaran tentang kondisi hutan,
keberlangsungan satwa dan peran setiap kita. Ia mengaku takut melihat dampak
perubahan iklim bagi alam. “Takut tapi tetap harus memberi harapan pada yang
lain.”
Berbicara mengenai
kondisi lingkungan Indonesia saat pandemi, pendiri Garda Satwa Indonesia ini
diawal-awal mengaku senang sewaktu aktivitas manusia menurun drastis akibat lockdown.
Alam diberi kesempatan beregenerasi. Namun ketika manusia
di rumah saja justru timbul masalah baru yaitu menumpuknya sampah plastik.
Pun,wajah ayunya tak
dapat menutupi kesedihan saat ia sharing pengalaman berkunjung ke hutan hujan yang
terbakar. “Hutan seperti rumah bagi semua binatang yang ada di situ. Bayangkan
rumah kita tidak ada, mereka terus mau tinggal dimana?” Binatang seperti refugee (pengungsi) tidak mempunyai tempat tinggal karena ulah manusia. Padahal di hutan tropis semua
spesies mempunyai peranan masing-masing untuk menyeimbangkan dan menjaga
kesehatan alam.
Kak Davina yang juga pelindung orang utan di Borneo Orangutan Survival Foundation menekankan betapa pentingnya orang utan di hutan dan betapa pentingnya hutan tetap ada di Indonesia. Sebab ujung penerima manfaat terakhir dari semua itu adalah manusia. Semua yang kita perlukan untuk bertahan hidup sebagian besar berada di hutan. Sudah layak dan pantas kita ikut menjaga dan melestarikan hutan Indonesia beserta isinya.
Kondisi Orang Utan di Masa Pandemi - Davina Veronica Hariadi, Pegiat Satwa, Borneo Orangutan Survival Foundation | © JelajahSuwanto |
Barangkali kita sering lupa bahwa manusia itu penghuni bumi, sama kedudukannya dengan mahluk lain. Duta konservasi ini melontarkan refleksi bahwa bumi adalah tempat bagi semua mahluk hidup. “Tetapi fakta bahwa manusia menganggap dirinya superior adalah akar dari permasalahan di bumi ini. Pengalihan fungsi lahan untuk kebun kelapa sawit, tambang itu kan pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia.” Manusia dengan populasinya yang tidak terkontrol telah mengambil begitu banyak habitat dan ruang di bumi untuk pemenuhan kebutuhannya sendiri.
Peran Masyarakat Indonesia terhadap pelestarian alam sebenarnya sudah banyak, tapi banyak juga yang belum teredukasi atau terlibat secara langsung. “Karena they don’t know what to do sometimes.” Oleh karena itu Kak Davina mengajak kita semua untuk bergandengan tangan, memberi penyadartahuan atau edukasi “what should we do untuk protect each other” agar manusia dan alam hidup harmonis.
Adapun Kak Davina mengajak setiap kita melakukan hal sederhana yang berdampak pada pemulihan alam, antara lain:
Peran Sederhana Kita yang Berdampak pada Pemulihan Alam, Davina Veronica, Pegiat Satwa, Borneo Orangutan Survival Foundation | © JelajahSuwanto |
Blogger Suarakan Ide-ide Pelestarian lingkungan
Ketua umum Pusat IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis), Widyanti Yuliandari mewakili blogger memandang bahwa semua komponen dari lingkungan menerima ancaman perubahan iklim. Mulai dari permasalahan sampah, air bersih, pembuangan limbah, kualitas air sungai hingga laut. BuKetu, biasa kami memanggilnya mengisahkan sekitar 10 tahun lalu sehubungan dengan tugas kantor, ia memulai edukasi tentang perubahan iklim. “Waktu itu masih berat karena masyarakat belum melihat fakta. Tetapi saat ini sudah beda, sudah kelihatan jelas. Seluruh Indonesia ikut merasakan sudah tidak terbantahkaan lagi. This is the real issue.” Dampak perubahan iklim kini sangat serius mengancam rumah kita.
Buketu yang juga penulis
buku dan pelaku Food Combining ini berbagi mengapa ia concern menulis isu lingkungan. Buketu
sudah “ngeblog” sejak 2008. Kala itu ia menulis apapun
yang dipikirkannya, termasuk aktivitas terkait tugas kantor di atas. Tentang
bagaimana saat survei mengambil sampel air sungai hingga menganalisisnya di
laboratorium. “Semua keseharian itu saya tulis.” Ternyata banyak respon pembaca
yang mengaku baru tahu. “Nah, hal-hal seperti itu membuat saya berpikir,
ternyata hal-hal yang menurut saya kecil dan itu adalah keseharian saya belum
tentu sudah diketahui orang lain.”
Berangkat dari pemahaman tersebut, Buketu terus menulis. “Kemudian teman-teman mengenal saya sebagai blogger yang menulis tema lingkungan padahal basic saya lifestyle blogger.” Wanita kelahiran Situbondo ini memang fokus pada tema lingkungan dan kesehatan karena keduanya masih beririsan. Dibanding tema lain, BuKetu melihat isu lingkungan belum sering diangkat oleh blogger.
Terkait pelestarian alam terutama perubahan iklim, BuKetu mengajak para blogger kembali pada fitrahnya. “Blogger perannya adalah sebagai individu yang memiliki passion dalam sharing idea, experience, dsb. Dan inti dari blogging adalah untuk berbagi kebaikan, termasuk dalam hal bagaimana menyuarakan ide-ide dalam pelestarian lingkungan.” Contohnya dari teman blogger, terutama IIDN dan Blogger Perempuan mereka mulai menyuarakan dari hal-hal simple. “Sesederhana, yuk kita mulai sekarang bawa bekal. Yuk batasin minum minuman kemasan beralih membawa tumbler.” Hal simple yang bisa ditiru oleh follower atau pembaca setia blog mereka.
Tulisan Lingkungan yang Menarik Pembaca Blog ala BuKetu, Widyanti Yuliandari, Ketua Umum Pusat IIDN | © JelajahSuwanto |
Peran Agama Selamatkan Bumi, Pekan Laudato Si’ Aksi Nyata Merawat Bumi
Pak Mubariq menyinggung lembaga-lembaga agama besar untuk turut berperan mengubah perilaku individu agar beraksi menyelamatkan lingkungan. Keluarga Suwanto sekadar berbagi cerita, pada 16-24 Mei 2020 pemeluk Agama Katolik seluruh dunia bersatu dalam solidaritas Pekan Laudato Si’. Kami secara khusus mendaraskan Rosario dengan ujud doa yang mengacu pada Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’. Paus Fransiskus menyerukan krisis ekologis yang mendesak, jeritan bumi dan jeritan kaum miskin tidak boleh berlanjut. Sebagai aksi nyata, setiap individu Katolik diajak melakukan pertobatan ekologis berupa ikrar dan laku hidup sehari-hari yang selaras dan menjaga keseimbangan alam.
Ensiklik Laudato Si adalah seruan untuk merawat bumi sebagai rumah kita bersama. Saya senang membaca Republika bahwa telah terjadi perjuangan spiritual melawan perubahan iklim. Ada Deklarasi Istanbul tentang Perubahan Iklim sebagai tindak lanjut dari Ensiklik Laudato Si dan Deklarasi Interfaith Rainforests Initiative (IRI) di Indonesia. Deklarasi lintas agama yang dihadiri lebih dari 250 pemuka agama dan pemuka adat untuk perlindungan hutan.
Usulan konkret pertobatan ekologis untuk merawat bumi Sumber Booklet Pekan Laudato Si; Cafod |
The Power of Household, Pendidikan Lingkungan Dimulai Dari Pendidikan keluarga
Pada
webinar Perubahan Iklim KBR semua sepakat dalam upaya menyelamatkan lingkungan sebelum
mengajak orang lain, hendaknya kita mulai dari diri sendiri terlebih dahulu,
dari lingkungan keluarga. Tidak perlu aksi muluk lakukan saja dari hal
sederhana.
Sampai
saat ini Keluarga Suwanto cukup ketat dalam urusan membuang sampah. Ayah saya
meski kami tinggal di desa terpencil, puluhan tahun silam sudah wanti-wanti perihal
sampah plastik yang susah hancur di tanah. Keluarga kami sangat bergantung pada kebaikan tanah untuk menumbuhkan hasil pertanian. Kami sama sekali dilarang membuang sampah sembarangan. Bila
tidak menemukan tempat sampah saya harus mengantonginya sampai bisa dibuang di
tempat seharusnya. Kebiasaan kecil ini seperti sudah menjadi bawah sadar yang
kemudian saya turunkan kepada cucu Bapak.
Jika kebiasaan membuang sampah diajarkan di setiap keluarga, semestinya ini menjadi kekuatan besar dalam pelestarian alam. Bayangkan jika Pendidikan lingkungan ini dimulai di 60 juta rumah tangga dari 270 penduduk Indonesia, saya yakin bumi akan berseri kembali. Pendidikan lingkungan ini mengarah pada gaya hidup pro lingkungan, seperti: hemat air dan listrik, bijak mengolah sampah, diet kantong plastik, kembali ke saputangan mengurangi tisu, dan masih banyak lainnya.
Upaya sederhana Keluarga Suwanto untuk melindungi bumi | © JelajahSuwanto |
Kita Semua Saling Terhubung
Lelaki dari Pekik Nyaring itu tak memikirkan diri sendiri. “Harapan kami kepada kawan-kawan semua mari kita jaga isi alam ini untuk kita semua. Kita jaga kebersihan, kita jaga dari sampah-sampah yang tidak bermanfaat dan juga kita lestarikan alam ini, hutan kita dan laut kita untuk kita dan anak cucu kita nanti."
Sebuah harapan mulia. Tersirat tujuan mengapa kita harus merawat bumi. Seperti Pak Zul, saya pun ingin mewariskan 'rumah', bumi yang lebih baik untuk generasi setelah saya. Bagaimana dengan kawan semua?
Sementara itu dampak perubahan iklim merupakan salah satu tantangan bagi tujuan kita. Adalah tanggung jawab bersama yang menuntut kita untuk memikirkan orang lain, termasuk hutan, satwa dan penghuni bumi lainnya.
The earth does not belong to man, man belongs to the earth. All things are connected like the blood that unites us all. Man did not weave the web of life, he is merely a strand in it. Whatever he does to the web, he does to himself - Chief Seattle
Demikianlah kita semua saling terhubung, semua mahluk di bumi ini. Semoga segala usaha sederhana merawat bumi menjadi sumber sukacita kelak bagi generasi yang akan datang.
🌱
Makasih sharingnya mba sangat bermanfaat banget. Sehingga kita memang harus menjaga lingkungan dengan baik dan semua harus kerjasama. Tapi bisa dilakukan terlebih dahulu dari lingkungan keluarga
BalasHapusMari kita bergandengan tanga, Mbak Rati demi rumah kita bersama.
HapusSemoga artikelnya bermanfaat ya.
Kita semua saling terhubung...semua makhluk di bumi, maka tugas kita untuk peduli. Meski manusia adalah korbannya pelaku juga mereka. Aksi nyata sederhana kiranya perlu dibiasakan sejak dini pun terus dilakukan sampai nanti. Sehingga generasi mendatang akan tetap bisa menikmatinya
BalasHapusYes, betul-betul diperlukan aksi nyata dari setiap kita. #thepowerofhousehold
HapusSebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna, nyatanya malah manusia yang lewat tindakannya malah kerap membuat kerusakan di muka bumi ini. Salut kepada teman-teman yang menaruh perhatian lebih terhadap keseimbangan lingkungan secara langsung.
BalasHapusIya, hormat untuk yang berjuang di garda depan. Kita dukung dengan hal sederhana dari rumah ya.
HapusKita akan mewariskan 'rumah' bumi yang semakin baik, jika kita perduli. Contoh kecil yang nyata adalah membiasakan hal yang baik dengan tidak membuang sampah di sungai dan masih banyak lagi.
BalasHapusJika kita peduli, that's the point. Yuk kita lakukan saja bagian kita, sesederhana yang kita bisa.
HapusPernah baca juga tentang pecinta alam 'jadi-jadian' seperti yang Mbak bilang. Gayanya pas selfie keren, ehh ternyata masih suka mencemari gunung dengan sampah, hiks.
BalasHapusIya, sih. Perubahan iklim ini kerasa banget kok. Kemarau jadi panjang sekali, hujan hanya sesekali, cuaca pun panasss.
PR kita bersama memang dan benar bahwa ini bisa dimulai dari kita sendiri dan keluarga.
Sayangnya saya masih belum familiar nih dengan menstrual cup ;) Pembalut kain yang bisa dicuci ulang bisa jadi pilihan juga kan yaa
Iya sedihnya fakta berbicara demikian, ke alam cuma gegayaan. Semoga semakin banyak pencinta alam yang mau merawat alam, minimal buang sampah yang bener deh.
HapusTentang Menstrual Cup sama saya juga belum familiar. Pembalut kain bisa jadi pilihan juga, Mbak Tatiek.
Perubahan iklim terasa sekali dampaknya ya Mba. Seringkali kesusahan karena air sulit didapat, tapi nyatanya semua itu ulah manusia juga. Jadi tertarik dengan penggunaan menstrual cup, saya pakai pembalut sekali pakai bisa menghabiskan 4-5 dalam sehari. Makasih infonya ya Mba, menginspirasi saya untuk cinta lingkungan dan berperan dalam menjaganya.
BalasHapusSenang sekali jika artikelnya dapat bermanfaat. Mari sama-sama merawat rumah kita.
Hapus