Tumbak Minahasa Tenggara, Desa Wisata Suku Bajo, Pesisir Pantai dan Jelajah Pulau

Perairan Teduh Pesisir Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Perairan Teduh Pesisir Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

“Maaf air-nya belum bisa dikasih betul soalnya orang yang bantu so mo siap-siap takbiran. Nanti kalau mau ke kamar mandi naik rakit saja ke rumah, ya.” Begitu kira-kira pesan Bu Nini merespon komplain air yang tak kunjung mengalir di Tumbak homestay. Sungguh lupa meski terbilang dekat dari Manado Jelajah Suwanto sedang menyepi di perkampungan nelayan Bajo. Mayoritas penduduk tentu sedang mempersiapkan diri menyambut hari kemenangan Idul Fitri.

 

Pesisir Tumbak memanjang diantara hijau hutan bakau dan riak laut biru. Entah benar atau tidak, katanya Tumbak adalah akronim dari Tumbuhan Bakau. Perairan Tumbak yang bagian selatannya menghadap laut Maluku dan teluk Sompini di arah timur terlindungi oleh terumbu karang panjang dan beberapa pulau cantik, antara lain Pulau Baling-baling dan Ponteng.

Peta wisata desa Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Peta wisata desa Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Secara administratif Desa Tumbak berada di Kecamatan Posumaen, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara. Suaka elok ini ditemukan oleh suku pengembara laut gagah berani, suku Bajo. Kini kurang lebih 1.600 penduduk menetap dan mengolah potensi maritim di wilayah tersebut. 

 

Keluarga Suwanto menempuh ±82 km berkendara dari Kota Manado. Kami mengambil jalur Manado, Tomohon, Ratahan dipandu kawan setia si Mbak Google Maps. Perjalanannya spektakuler turun naik membelah bentang alam Minahasa di tengah rinai, bianglala dan rekah sang surya. Sebelum masuk ke Desa Tumbak ada bagian jalan yang rusak dan berkubang. 

 

Perjalanan menuju desa Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Perjalanan menuju desa Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Pesan untuk Para Pemilik Homestay 

 

Hanya satu nomor penginapan Tumbak yang tertera di pencarian Google. Suara perempuan berlogat Sulawesi bagian selatan atau barat menyambut panggilan saya. Deal, kami sepakat menginap di Tumbak Homestay 2 hari 1 malam. Harga penginapan sudah termasuk makan malam dan brunch keesokan harinya. Tak ada sarapan.

 

Ketika melihat Tumbak Homestay saya bingung. Jauh dari bayangan. Beberapa review yang saya baca menyebutkan 3 rumah panggung di sekitar hutan bakau dengan pemilik berkebangsaan Perancis. Walaupun Bu Nini suaminya seorang perancis juga, ternyata beda. Tumbak yang itu merujuk pada Tumbak Island Cottages. *Saat ini Tumbak Island Cottage sudah terindeks Google.

 

Sebagai catatan, menurut saya penting bagi para pemilik usaha untuk mencantumkan nomor kontaknya secara jelas. Mana tahu ada juga orang seperti kami yang mengandalkan mesin pencari buat riset-riset penginapan dan akomodasi di sekitar tempat wisata.

 

Tumbak Homestay di atas laut Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Tumbak Homestay di atas laut Tumbak Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Tumbak Homestay

 

Usai melewati lambaian nyiur dan ranum bulir padi, Jelajah Suwanto masuk ke sebuah perkampungan padat penduduk. Rumah-rumah warga hampir kompak serupa, berhadap-hadapan hanya jalan desa yang memisahkan mereka di tengahnya. Jalan itu kurang leluasa untuk 2 mobil tapi sudah beraspal baik, bahkan kami sangat was-was ketika gerombolan kambing berduyun ke jalanan.

 

Kami segera mengontak Bu Nini karena tak jua menemukan papan nama Tumbak Homestay. Jebulnya memang tidak ada penanda khusus. Pastikan untuk menelepon ketika tiba. Puji Tuhan desa Tumbak bukan daerah susah sinyal.

 

Yes, we are True Oceanholic || Tumbak Homestay Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Yes, we are True Oceanholic || Tumbak Homestay Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Kendaraan bisa diparkir di samping rumah Bu Nini. Barulah jalan kaki menyusur belakang kampung kemudian naik rakit kurang lebih 5 meter menuju rumah panggung dengan nuansa biru dan hijau di atas laut. 

 

Jangan membayangkan homestay dengan fasilitas luxury, AC,Televisi, bathub dan matras empuk. Tumbak Homestay termasuk nyaman untuk standar backpacker tanpa semua fasilitas itu. Sempurna untuk keluarga kecil yang suka petualangan. 

  

Fasilitas Tumbak Homestay Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Fasilitas Tumbak Homestay Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Ada 2 kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil, ruang makan dan ruang santai. Dapurnya dilengkapi kompor, dispenser biasa dan lemari es. Bisa tuh kalau mau rebus mie atau bikin kopi sendiri. Listrik dan air bersih untuk mandi tersedia. Itu sudah lebih dari cukup. 

(Meski saat kami datang listrik mati dari PLN dan air tak mengalir karena saluran pipanya patah).


 
Beranda belakangTumbak Homestay Minahasa Tenggara, favorit kami || ©JelajahSuwanto
Beranda belakangTumbak Homestay Minahasa Tenggara, favorit kami || ©JelajahSuwanto
Clear Water Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

 

Yang luxury dari Tumbak Homestay adalah teras belakang dengan pemandangan lautan teduh dan pulau berselimut hutan bakau persis di seberangnya. 

 

Banggai Kardinal, Nemo, ikan bidadari, bintang laut, ikan terompet dan ikan sori hilir mudik di perairan jernih. “Hati-hati jangan pakai sesuatu yang berkilauan seperti anting ya kalau nanti mau snorkeling. Ada banyak ikan sori takutnya nanti diserang. Ikan sori bisa menusuk.” Anak lelaki blasteran Perancis Bajo itu menerangkan dengan nada cepat-cepat.

 

Island Hopping Pulau Baling-baling, Ponteng, Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Island Hopping Pulau Baling-baling, Ponteng, Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Apa Saja yang Bisa Dilakukan di Sekitar Tumbak Homestay?

Keputusan untuk island hopping di hari pertama sangat tepat mengingat esoknya hampir semua warga saling bersilaturahmi. 

Kelar menaruh bawaan kami langsung menuruni tangga masuk ke perahu yang menunggu di beranda belakang Tumbak Homestay.

 
Island Hopping Pulau Baling-baling, Ponteng, Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Island Hopping Pulau Baling-baling, Ponteng, Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

 

Keluarga Suwanto kemudian diajak mengelilingi perairan tumbak, singgah di beberapa pulau. Baling-baling, Ponteng, dan pulau yang ada mercusuar-nya. Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan di pulau-pulau persinggahan, seperti mengumpulkan cangkang kerang, hiking ke puncak pulau, dan mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan.

 

Khawatir senja buru-buru pamit, pun demi menyenangkan adek kecik yang ingin segera bermain air di pantai landai, ajakan suami mendaki pulau mercusuar saya tolak halus.
 
Tanjung Popaya menjadi surga labuhan kami. Pasirnya lembut hitam eksotis dengan perairan teduh nyaris tanpa ombak. Sementara kami bermain, Om pemilik perahu mengumpulkan kayu bakar di dekat pantai. Tak ada satu orang pun yang tinggal di sana. Hari itu Tanjung Popaya sepenuhnya surga keluarga Suwanto.

 
Island Hopping Pulau Baling-baling, Ponteng, Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Island Hopping Pulau Baling-baling, Ponteng, Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Tanjung Popaya surga teduh di Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Tanjung Popaya surga teduh di Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Malamnya benar-benar epik, hanya flashlight dari ponsel dan kerlip gemintang yang menerangi kami. Hiruk pikuk pekerjaan dan keramaian kota bolehlah dilewatkan sebentar. Jarang-jarang merayakan malam bersama keluarga tercinta di atas hening lautan pemukiman suku Bajo. 

 

Bersantai di jetty atau di beranda belakang homestay tak kalah menyenangkan. Bawaannya bikin mager. Selain keluarga Suwanto yang betah tinggal di Tumbak Homestay, seekor anak burung nyaman bersarang di pot bunga di pojokan. Anak burung yang cantik.

 

Jetty di Tumbak Homestay Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Jetty di Tumbak Homestay Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Anak burung cantik nyaman bersarang di Tumbak Homestay Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Sayonara Little Bird, Tumbak Homestay Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Sejarah Desa Tumbak dan Kearifan Suku Bajo

 

Dalam perjalanan island hopping Om yang membawa perahu banyak berkisah tentang dirinya juga muasal Desa Tumbak.

 

Syahdan, Kepala suku Bajo Syakban Mau sakit parah ketika masa penangkapan ikan di tengah lautan. Mereka memutuskan berlabuh di Teluk Tumbak untuk mengambil akar penyembuh dari hutan bakau. Setelah beberapa waktu Syakban Mau pulih kembali. Ia memutuskan tetap tinggal di wilayah tersebut. 

 

Beliau mempunyai 12 putri yang kemudian menikah dengan pria dari berbagai daerah. Campuran antar etnis ini sejatinya memperkaya dan memperkuat kearifan Tumbak. Meski demikian Budaya Bajo, termasuk bahasa dan kepercayaannya masih tetap terjaga.

 

Syekh Abdul Samad Bachdar yang berlatar keluarga pedagang kaya asal Arab menikah dengan putri Syakban Mau dan tinggal bersamanya di Tumbak. Ia dikenang sebagai guru, imam pertama dan pendiri Desa Tumbak. Tumbak lahir pada tahun 1918 oleh keluarga Badjo Lao.

 

Pemukiman Suku Bajo di Desa Tumbak Homestay Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Pemukiman Suku Bajo di Desa Tumbak Homestay Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

 

Pelabuhan Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto
Pelabuhan Tumbak  Minahasa Tenggara || ©JelajahSuwanto

Ketika menelusuri sejarah Desa Tumbak, saya terkagum-kagum pada syair Syekh Abdul Samad Bachdar yang diposting oleh tumbakmadani blogspot. Begitu indah pilihan diksi dalam syair rima baris yang dibuatnya. Salut. Saya kutip sebagai hormat.

 

Di dalam teluk tiada ombaknya / Dilindung oleh pulau-pulaunya

Walaupun angin keras hembusnya / Labuhan tumbak tetap teduhnya

 

Konon dulu ada pembajak / Dari Mindanau berbintak-bintak

Datang di sini maksud merampok / Dengan senjata panah dan tumbak

 

Kepala distrik bawahan dibelang /  Rulan Maringka nama terbilang

Saya ketemu hatinya girang / Memberi izin suratnya terang

 

Dipinta, kami tinggal disini /  Agar pembajak kurang kemari

Demikian tawaran Pemerintah Negeri / Kami keluar tidak diberi

 

Bulan April dalam ingatan / Seribu Sembilan ratus dalam bilangan

 Delapan belas lebih hitungan /Tumbak labuhan kami tempatkan

 

Naik Rakit menuju Tumbak Homestay Minahasa Tenggara ©JelajahSuwanto
Naik Rakit menuju Tumbak Homestay Minahasa Tenggara ©JelajahSuwanto

Laut sebagai Halaman Belakang Pemukiman Suku Bajo

 

Dari tengah laut Pak Suami mengabadikan pemukiman suku Bajo, tampak tenang dan syahdu. Namun ada sedikit yang mengganjal, terbawa ingatan hingga berhari-hari bahkan ketika memori Tumbak kami buka kembali. Usus.

Ya, saat merakit hendak ke rumah Bu Nini untuk mandi si Mas tak sengaja memegang usus ayam yang membengkak di perairan. Euiuuuh, geli-geli menjijikan.

 

Bukan cuma usus beragam sampah perumahan lain juga tersangkut di lamun-lamun laut. Ada remote, casing handphone, sepatu, sofa, dan berbagai plastik. Jika saja laut menjadi pekarangan mereka, mungkin akan terpikir dua kali untuk membuang segala jenis sampah di depan pemandangan sendiri. 

 

Pesisir Tumbak bikin Hati Kembali Fitri

 

Dua hari satu malam di pesisir Tumbak rasanya kurang. Namun menikmati teluk tumbak dengan pulau-pulaunya, berlabuh di tanjung popaya, dan bersentuhan dengan kearifan lokal Suku Bajo tetap menyalakan semangat baru Jelajah Suwanto. Apalagi hidangan lebaran ala Bu Nini semarak serasa merayakan idul fitri bersama sanak saudara di Nagaraherang.

 

Terima kasih Tumbak, silaturahmi denganmu membuat hati kembali fitri. Semoga.

 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELUARGA SUWANTO

KELUARGA SUWANTO
Keluarga Suwanto di Ranger Station Raja Ampat

Recent Posts

Popular Posts

Label